Arti dan Makna “Suro” dalam Budaya Jawa dan Pantangannya
Kalau kamu lahir atau tumbuh di keluarga Jawa, mungkin sudah tidak asing dengan istilah “bulan Suro” atau “malam 1 Suro”.
Meski terkesan kuno, nyatanya bulan Suro masih dianggap spesial oleh banyak orang Jawa. Ia bukan sekadar penanda awal tahun dalam kalender Jawa, tapi juga momen spiritual, budaya, dan perenungan diri yang penuh makna.
Di artikel ini, kita akan membahas:
- Asal-usul dan arti bulan Suro dalam budaya Jawa
- Mengapa bulan Suro dianggap sakral dan mistis
- Pantangan yang dipercaya selama bulan Suro
- Cara bijak menyikapi tradisi Suro di zaman modern
Asal-Usul dan Makna Bulan Suro
Kata Suro sendiri berasal dari pelafalan Jawa terhadap kata Arab ‘Asyura’, yang berarti “sepuluh” — mengacu pada hari kesepuluh bulan Muharram yang punya makna penting dalam sejarah Islam.
Karena itu, bulan Suro dalam budaya Jawa bukan hanya soal pergantian tahun, tapi juga waktu penyucian diri, doa, dan refleksi spiritual.
Beberapa makna utama bulan Suro:
- Waktu untuk menyucikan diri. Banyak orang Jawa melakukan tirakat, semedi, puasa mutih, atau mengurangi aktivitas duniawi untuk menenangkan batin.
- Awal babak baru. Sebagai bulan pertama dalam kalender Jawa, Suro dianggap momen yang tepat untuk memperbarui niat dan menata kembali hidup.
- Batas dunia gaib dan manusia diyakini lebih tipis. Karena itu, masyarakat meningkatkan kewaspadaan spiritual dengan doa dan ritual perlindungan.
Bisa dibilang, bulan Suro adalah perpaduan antara kepercayaan Islam Jawa, filosofi keraton, dan spiritualitas rakyat — menjadikannya salah satu tradisi paling khas di Nusantara.
Mengapa Bulan Suro Dianggap Sakral dan Mistis?
Banyak orang percaya bahwa bulan Suro memiliki “aura” yang berbeda. Entah karena sejarahnya, energi spiritualnya, atau ritual-ritual yang menyertainya, Suro memang terasa lebih sunyi, dalam, dan sarat makna.Berikut beberapa alasan mengapa bulan ini dianggap sakral dan mistis: 1. Warisan Keraton dan Pembaruan Kalender
Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram Islam abad ke-17, menyatukan kalender Saka (Hindu-Buddha) dengan kalender Hijriah untuk menciptakan kalender Jawa. Penetapan bulan Suro sebagai bulan pertama menjadi simbol peralihan budaya besar — dari era lama menuju peradaban baru yang lebih spiritual.
Sejak saat itu, upacara seperti Kirab Pusaka dan Jamasan Keris dilakukan setiap 1 Suro di keraton Yogyakarta dan Surakarta. Tradisi itu lalu diikuti masyarakat sebagai bentuk rasa syukur dan pembersihan diri.
2. Waktu untuk Merenung dan Menata Hati
Bulan Suro dianggap waktu yang tepat untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia. Banyak orang menggunakan bulan ini untuk ngrowot (puasa makan sayur), tirakat, atau sekadar menenangkan pikiran. Esensinya: ngresiki diri, membersihkan hati dan pikiran agar siap menghadapi tahun baru Jawa dengan jiwa yang lebih bersih.
3. Kepercayaan Dunia Gaib dan Keseimbangan Alam
Dalam keyakinan masyarakat Jawa, malam 1 Suro diyakini sebagai saat di mana “gerbang gaib” terbuka.
Konon, energi halus — baik dari leluhur maupun makhluk tak kasatmata — lebih mudah berinteraksi dengan dunia manusia.
Itulah sebabnya, banyak yang memilih untuk tidak keluar malam atau tidak bepergian jauh, karena dianggap waktu yang rawan secara spiritual.
Apakah ini mitos? Bisa jadi. Tapi bagi orang Jawa, semua ini bukan soal menakuti, melainkan menghormati keseimbangan antara alam nyata dan alam batin.
Pantangan-Pantangan Selama Bulan Suro
Setiap budaya punya caranya sendiri untuk menjaga harmoni. Dalam tradisi Jawa, ada beberapa pantangan bulan Suro yang dipercaya bisa menjaga keselamatan dan keseimbangan batin.Berikut beberapa di antaranya:
1. Tidak Menggelar Pesta atau Hajatan Besar
Bulan Suro dianggap bukan waktu yang baik untuk menikah, mengadakan pesta, atau syukuran
besar.
Alasannya sederhana: ini waktu untuk hening, bukan hura-hura.
Sebagian orang percaya, mengadakan pesta di bulan ini bisa “mengganggu” ketenangan energi
bulan Suro.
2. Tidak Pindah atau Membangun Rumah
Bulan Suro sering dianggap bulan sepi. Pindah rumah atau membangun proyek besar di waktu ini diyakini membawa hambatan atau energi yang belum stabil.
3. Tidak Bepergian Jauh Tanpa Alasan Penting
Banyak orang tua Jawa dulu menasihati anaknya agar tidak pergi jauh di bulan Suro. Ini bukan karena takhayul, tapi karena bulan ini dianggap waktu ngendhaleni diri — menahan keinginan dan menata langkah.
4. Tidak Bermewah-Mewahan
Suro adalah waktu untuk hidup sederhana. Masyarakat dianjurkan untuk tidak pamer harta atau bersikap sombong. Kesederhanaan adalah bentuk penghormatan terhadap energi sunyi bulan Suro.
5. Tidak Bermain dengan Dunia Gaib
Karena bulan ini diyakini sensitif secara spiritual, praktik seperti uji nyali, ritual pemanggilan arwah, atau bermain spirit doll sebaiknya dihindari. Orang Jawa percaya bahwa kesalahan kecil di dunia spiritual bisa berakibat besar jika dilakukan di bulan Suro.
6. Menjaga Ucapan dan Emosi
Suro juga dikenal sebagai bulan “ngendhaleni hawa nafsu”.
Menjaga ucapan, menghindari gosip, dan tidak mencari keributan dianggap sebagai bentuk
tirakat yang paling mudah tapi bermakna besar
Menyikapi Bulan Suro di Zaman Modern
Sebagian generasi muda mungkin menganggap pantangan bulan Suro terlalu kuno. Padahal, jika kita gali maknanya, ajaran moral dan spiritual di baliknya tetap relevan — bahkan di era digital sekarang.Bulan Suro bisa dijadikan:
- Momen evaluasi diri: menata kembali tujuan hidup dan kebiasaan buruk.
- Waktu refleksi spiritual: memperbanyak doa, meditasi, atau sekadar waktu tenang bersama diri sendiri.
- Upaya melestarikan budaya: mengenal filosofi leluhur agar tidak hanya ikut tradisi tanpa memahami maknanya.
Kesimpulan
Bulan Suro adalah simbol awal yang baru, penuh makna spiritual dan filosofi kehidupan. Ia mengajarkan kita tentang kesederhanaan, introspeksi, dan keseimbangan antara dunia lahir dan batin.Tradisi dan pantangan yang menyertainya bukan sekadar mitos, melainkan cara orang Jawa menjaga harmoni dengan alam dan Sang Pencipta.
Kamu tidak harus mempercayai semuanya secara literal — tapi dengan menghormati nilai di baliknya, kamu ikut melestarikan kebijaksanaan leluhur.
Jadi, ketika bulan Suro datang, jangan takut.
Gunakan momen ini untuk merenung, memperbarui niat, dan menata hati agar hidupmu
lebih selaras.
Karena seperti pepatah Jawa bilang:
“Sing resik ati, bakal resik uripe.”
(Hati yang bersih akan membawa hidup yang bersih pula.)